KH. Syafi’i Hadzami

Tujuh Mei 2006, umat Islam di Ibukota, khususnya masyarakat Betawi, kehilangan sosok ulama besar yang sampai hari ini sulit dicarikan tandingannya. Beliau adalah Mu`allim KH. Muhammad Syafi`i Hadzami. Gelar mu`allim dan juga`allamah yang disandangnya menunjukkan betapa almarhum menempati posisi yang begitu terhormat dalam hirarki keulamaan di Betawi. Gelar-gelar keulamaan yang disandangnya tersebut bukan semata karena beliau pernah menjabat Ketua Umum MUI DKI Jakarta  selama dua periode dan rajin mengeluarkan fatwa, tetapi beliau merupakan sedikit ulama yang cukup produktif menulis di bidang qira`at, ushul fiqih, dan fiqih di mana karya-karya beliau diakui kualitasnya sampai ke negeri tetangga.

    Ada tujuh karya tulis beliau, yaitu: pertama, berjudul Sullamul `Arsy fi Qira`at Warsy. Risalah ini selesai disusunnya pada tanggal 24 Dzulqa`dah tahun 1376H (1956M) pada saat ia berusia 25 tahun. Risalah setebal 40 halaman ini berisi tentang kaidah-kaidah khusus pembacaan Al-Qur`an menurut Syekh Warasy yang terdiri atas satu mukadimah, sepuluh mathlab (pokok pembicaraan), dan satu khatimah (penutup); kedua, berjudul Qiyas Adalah Hujjah Syar`iyyah. Di dalam risalah ini dikemukakan dalil-dalil dari al-Qur`an, al-Hadits, dan ijma` ulama yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan salah satu dari hujjah syari`ah. Risalah ini selesai disusun pada tanggal 13 Shafar 1389 H bertepatan dengan tanggal 1 Mei 1969 M; ketiga, berjudul Qabliyah Jum`at. Risalah ini membahas tentang sunnahnya sholat Qabliyyah Jum`at dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Di dalam risalah ini dikemukakan nash-nash al-Qur`an, al-Hadits, dan pendapat para fuqaha; keempat, berjudul Shalat Tarawih. Risalah ini disusun untuk memberikan penjelasan shalat tarawih yang sering menjadi persoalan di kalangan kaum muslimin. Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah raka`atnya, cara pelaksanaannya, dan lain-lain; kelima, berjudul `Ujalah Fidyah Shalat. Risalah yang ditulis pada tahun 1977 ini membahas khilaftentang membayarkan fidyah (mengeluarkan bahan makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang di masa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu. Risalah ini disusun karena adanya pertanyaan tentang masalah tersebut yang diajukan oleh salah seorang jama`ah pengajiannya; keenam, berjudul  Mathmah Ar-Ruba fi Ma`rifah Ar-Riba. Di dalam risalah ini dibahas beberapa persoalan yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, benda-benda yang ribawi, jenis-jenis riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya. Risalah ini selesai ditulis pada tanggal 7 Muharram 1397H (1976M); dan  ketujuh, berjudul Al-Hujajul Bayyinah. Risalah ini dalam bahasa Indonesia memiliki arti argumentasi-argumentasi yang jelas, yang  selesai beliau tulis sekitar tahun 1960. Risalah ini mendapat pujian dari gurunya, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi. Bahkan dari gurunya ini, ia mendapatkan rekomendasi (seperti kata pengantar) untuk bukunya ini.

    Selain itu, ada satu kitab yang diberi judul Taudhih Al-Adillah yang artinya menjelaskan dalil dalil. Kitab ini disebut-sebut sebagai masterpiece beliau, sebab sampai hari ini masih menjadi salah satu rujukan umat Islam untuk menjawab persoalan-persoalan fiqih kontemporer. Kitab ini merupakan kompilasi dari tanya jawab beliau sebagai nara sumber dengan para pendengar di Radio Cendrawasih  Kitab  yang terdiri atas 7 jilid ini, selain dicetak di Indonesia juga pernah dicetak di Malaysia. Yang mengagumkan, beliau sendiri bukanlah ulama “produk” luar negeri. Beliau adalah orang Betawi asli  kelahiran 31 Januari 1931 yang keulamaanya merupakan hasil didikan ulama lokal dan habaib Betawi. Sebagaimana yang dikisahkan dalam biografi beliau,Sumur Yang Tak Pernah Kering, pendidikan pertamanya diperoleh dari Kakek Husin. Dari orang yang terdekat inilah mental disiplin dan kecintaannya pada ilmu-ilmu ke-Islaman mulai dibangun. Syafi`i “kecil” sering sekali diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca zikir di kediamannya Kiai Abdul Fattah (1884-1947), seorang ulama kelahiran Cidahu, Tasikmalaya yang membawa Tarekat Idrisiah ke Indonesia. Kemudian mengaji al-Qur`an, dasar-dasar ilmu nahwu dan shorof kepada Pak Sholihin. Dari tahun 1948 sampai dengan tahun 1953 atau selama 5 tahun, Syafi`i belajar kepada KH. Sa`idan di Kemayoran. Kepadanya, Syafi`i belajar ilmu tajwid, ilmu nahwu (dengan kitab pegangan berjudul Mulhatul-I`rab) dan ilmu fikih (dengan kitab pegangan berjudul Ats-Tsimar Al-Yani`ah yang merupakan sarah dari kitab Ar-Riyadh Al-Badi`ah). Selain belajar ilmu-ilmu agama, Syafi`i juga belajar ilmu silat kepadanya.  KH. Sa`idan juga menyuruhnya untuk belajar kepada guru-guru yang lain, misalnya kepada Guru Ya`kub Sa`idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia), Guru Abdul Majid (Pekojan), dan lain-lain. Dari K.H. Mahmud Romli yang tinggal di daerah Menteng, Jakarta Pusat ini, Syafi`i menimba ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Kitab fikih yang digunakan dalam belajar adalah Bujairimi, sedangkan kitab tasawufnya adalah Ihya `Ulumiddin. Biasanya, yang membaca kitab-kitab tersebut adalah guru Mahmud sendiri. Lebih dari 6 tahun (1950-1956), Syafi`i menimba ilmu darinya. Juga berguru kepada KH. Ya`kub Saidi yang bermukim di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, seorang alim lulusan Mekkah. Kepada gurunya ini, Syafi`i mengaji banyak kitab yang dibacanya dihadapan Guru Ya`kub sampai khatam; terutama kitab-kitab dalam ilmu ushuluddin dan mantiq. Di antara kitab-kitab yang dikhatamkan padanya adalah Idhahul Mubham, Darwis Quwaysini, dan lain-lain. Juga berguru kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyyah masih tergolong kakeknya Syafi`i. Kitab-kitab yang dipelajari Syafi`i dari beliau adalah Kafrawi, Mulhatul `Irab, dan Asymawi. Lebih kurang 5 tahun, yaitu sejak tahun 1953 sampai tahun 1958, Syafi`i belajar kepada K.H. Mukhtar Muhammad di Kebon Sirih.  Beliau ini masih terhitung mertuanya sendiri dan juga murid dari Guru Ya`kub.  Diantara kitab yang dibaca oleh Syafi`i kepada beliau adalah kitab Kafrawi. Guru-guru lain yang berjasa dalam mendidiknya adalah: KH. Muhammad Sholeh Mushonnif (darinya, Syafi`i belajar ilmu ushuluddin), K.H. Zahruddin Utsman (darinya, Syafi`i mendapatkan ijazah kitab Al-Hikam), Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani (darinya, Syafi`i banyak belajar ilmu hadits, ilmu usul fikih, dan lain-lain), dan  juga kepada KH. Muhammad Thoha.

    Selain itu, beliau juga mengaji kepada beberapa habib terkemuka di Betawi, yaitu Habib Ali bin Husein al-Aththas, Bungur (Habib Ali Bungur) dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi,  Kwitang (Habib Ali Kwitang).. Dengan Habib Ali Bungur, Syafi`i “dewasa” mengaji sejak sekitar tahun 1958 sampai dengan gurunya ini diwafatkan pada tahun 1976. Banyak kitab-kitab yang dipelajarinya dari Habib Ali Bungur yang lahir di Huraidhah, Hadramaut, Yaman pada tanggal 1 Muharram 1309 dan selama 5 tahun menuntut ilmu di Mekkah kemudian ke Jakarta sampai ia diwafatkan. Syafi`i merupakan murid kesayangannya yang mendapatkan ijazah langsung darinya seminggu sebelum wafat.  Beliau juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali Kwitang. Habib kelahiran Kwitang, Jakarta pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1286H (1876M) ini memberikan pengajian kepadanya dengan berbagai disiplin ilmu ke-Islaman. Karena ketokohan dan kualitas karya-karya yang dihasilkannya sebagaimana yang diterangkan di atas sehingga pantas untuk dikenang dan diperingati dan untuk melestarikan serta mensosialsasikan pemikiran dan karya-karya beliau, khususnya juga untuk kepentingan regenerasi ulama di Betawi.

Tinggalkan komentar